Surat Al-Baqarah [2:212]
[Di jadikannya indah kehidupan dunia dalam pandangan kaum kafir]
زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا ۘ وَالَّذِينَ اتَّقَوْا
فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ
بِغَيْرِ حِسَابٍ
zuyyina lilladziina kafaruu alhayaatu alddunyaa wayaskharuuna mina alladziina aamanuu waalladziina ittaqaw fawqahum yawma alqiyaamati waallaahu yarzuqu man yasyaau bighayri hisaabin
Kehidupan dunia dijadikan indah dalam
pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang
beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada
mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya tanpa batas.
* * *
JANGAN TERTIPU dengan keindahan dunia, karena keindahan itu sesungguhnya adalah ujian.
Gemerlap dunia memang indah. Berbagai kenikmatan di dalamnya juga
dapat melenakan. Bagi orang-orang yang tidak meyakini akhirat,
kenikmatan dunia adalah segala-galanya. Seandainya bisa, niscaya mereka
akan mengejarnya hingga habis tak bersisa. Namun sayangnya, mereka tidak
menyadari bahwa sikap itu akan berbuah sengsara. Di akhirat kelak,
siksaan pedih akan didapatkan. Berbahagialah orang yang menjalani
kehidupan dengan panduan petunjuk-Nya. Realitas ini digambarkan dalam
ayat di atas.
Orang Kafir Tertipu Dunia
Allah SWT berfirman: Zuyyina li al-ladzîna kafarû al-hayâtu al-dunyâ
(kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir).
Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan al-ladzîna kafarû adalah
kaum musyrik Arab, seperti Abu Jahal dan tokoh-tokoh musyrik lainnya.
Sebagian lainnya lebih memilih bahwa orang kafir di sini mencakup
seluruh orang kafir. Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima.
Sebab, lafadz al-ladzîna kafarû bersifat umum sehingga mencakup semua
orang ber-status kafir.
Diberitakan dalam ayat ini, kehidupan dunia dibuat terlihat indah
oleh mereka. Kata zuyyina merupakan bentuk mabniyy li al- majhûl (kata
kerja yang tidak disebutkan pelakunya). Berasal dari kata zayyana, yang
menurut al-Raghib al-Asfahani berarti menampakkan kebaikan. Sihabuddin
al-Alusi juga memaknainya “diwujudkan kebaikan dan dijadikan kecintaan
dalam hati mereka”. Itu artinya, kehidupan dunia di mata orang-kafir
demikian indah, hingga hati mereka benar-benar terpaut dengannya.
Menurut al-Zamakhsyari, al-muzayyin (yang membuat indah) kehidupan
indah bagi orang kafir itu adalah syetan. Di samping syetan, menurut
al-Syaukani juga jiwa yang kuat mencintai dunia. Dalam ayat lainnya
memang diberitakan bahwa tindakan itu merupakan tekad yang diikrarkan
iblis ketika dirinya diusir dari surga. Ucapan makhluk terlaknat disitir
dalam firman-Nya: Iblis berkata, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah
memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang
baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya” (TQS al-Hijr [15]: 39).
Bahwa kehidupan dunia terlihat indah, memang demikianlah faktanya.
Hal ini juga ditegaskan dalam firman-Nya: Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia (TQS al-Kahfi [18]: 46). Allah juga tidak
melarang manusia untuk mengecap kenikamatan dunia. Allah berfirman:
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengha-ramkan) rezeki yang baik?” (TQS al-A’raf [7]: 32).
Kendati demikian, keindahan dan kenikmatan dunia itu tidak boleh
membuat manusia menjadi terlena dan berpaling dari ibadah kepada Allah
SWT. Lupa kehidupan akhirat sehingga tidak menyiapkan amal shalih
sebagai bekalnya. Bahkan demi memperoleh kenikmatan dunia itu, berani
menabrak ketentuan syariah-Nya. Sikap inilah yang terjadi pada orang
kafir.
Kecintaan berlebihan kaum kafir terhadap dunia digambarkan dalam
banyak ayat lainnya. Mereka suka menumpuk dan menghitung-hitung harta
karena mengira itu dapat membuatnya kekal (lihat QS al-Humazah [104]:
5). Mereka juga bermegah-megahan dan berbangga-bangga tentang banyaknya
harta dan anak. Padahal semua itu bersifat fana dan dapat musnah
sewaktu-waktu. Mereka telah tertipu. Sebab, kehidupan dunia memang
hanyalah kesenangan yang menipu (lihat QS al-Hadid [57]: 20).
Tidak hanya tertipu oleh keindahan dunia, mereka pun menganggap hina
kaum Muslim. Allah SWT berfirman: wa yaskhar-ûna min al-ladzîna âmanû
(dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman). Dalam menjalani
kehidupannya di dunia, orang Mukmin terikat de-ngan berbagai ketentuan
syariah. Segala yang haram, seperti riba, khamr, zina, dll, dijauhi
meskipun tampak menyenangkan. Seorang Mukmin juga disibukkan oleh
berbagai aktivitas ibadah, dakwah, jihad, dan urusan akhirat. Pola
kehidupan seperti ini sudah barang tentu membuat orang kafir itu merasa
geli. Terlebih ketika melihat sebagian kaum Muslim yang miskin. Mereka
pun mengang-gapnya hina dan rendah, seperti yang dilakukan tokoh-tokoh
musyrik Arab terhadap Ibnu Mas’ud, Ammar bin Yasin, Suhaib, Bilal, dll.
Tak hanya itu, mereka bahkan menyebut kaum Muslim sebagai orang yang
sesat (lihat QS al-Muthaffifin [83]: 32).
Orang Mukmin Lebih Tinggi
Tudingan mereka itu jelas salah besar. Yang terjadi justru sebaliknya.
Bukan kaum Muslim rendah dan sesat, namun merekalah justru yang rendah
dan sesat. Allah SWT berfirman: wa al-ladzîna [i]ttaqaw fawqahum yawm
al-qiyâmah (padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada
mereka di hari kiamat). Orang-orang yang bertakwa adalah orang yang
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan kata lain, mereka
adalah orang yang taat terhadap semua ketentuan syariah.
Ditegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang bertakwa itu
fawqahum pada hari kiamat. Menurut al-Syaukani, kata fawqahum (di atas
mereka) di sini bermakna al-‘uluww fî al-darajah (ketinggian dalam
derajat). Sebab, orang-orang bertakwa berada di surga, sebaliknya
orang-orang kafir tinggal di neraka. Dijelaskan al-Zamakhsyari,
disebutkannya al-ladzîna [i]ttaqaw sesudah al-ladzîna âmanû menunjukkan,
tidak ada yang memperoleh kebahagiaan kecuali orang Mukmin yang
ber-takwa. Penyebutan itu juga sekaligus memberikan dorongan kepada kaum
Mukmin agar dia bertakwa tatkala mendengar berita itu.
Kehidupan akhirat merupakan dâr al-jazâ (negeri pembalasan). Dan
balasan itu benar-benar adil. Orang-orang kafir yang selama di dunia
diberikan banyak harta, anak, dan kekuasaan, di akhirat dihukum dengan
azab yang pedih. Hukuman itu sebagai balasan atas semua kejahatan yang
dilakukan. Sementara, orang Muslim yang semasa di dunia ada yang lemah
dan miskin, nasibnya berubah total. Maka mereka pun balik menertawakan
kaum kafir. Allah SWT berfirman: Maka pada hari ini, orang-orang yang
beriman menertawakan orang-orang kafir (TQS al-Muthaffifin [83]: 34).
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: wal-Lâh yarzuqu man yasyâ’ bi
ghayri hisâb (dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya tanpa batas).
Menurut Ibnu ‘Ab-bas ra, sebagaimana dikutip al-Khazin, frase ini
bermakna: Allah SWT memberikan rezeki yang amat banyak. Sebab, kata bi
ghayri hisâb bermakna katsîr (banyak). Sebaliknya, jika dapat dihitung
berarti qalîl (sedikit).
Maknanya: Allah SWT meluaskan rezeki-Nya kepada hamba yang
dikehendaki-Nya. Dengan penegasan ini, kaum Muslim tak perlu bersedih
hati ketika ditimpa kemiskinan. Sebaliknya, ketika mendapatkan rezeki
melimpah, juga tidak boleh sombong dan lupa diri. Sebab, otoritas
pemberian rezeki mutlak di tangan Allah SWT. Dialah yang meluaskan atau
menyempitkan rezeki kepada man yasyâ’ (orang-orang yang
dikehendaki-Nya).
Nabi Shallallahu alayhi wasallam bersabda:
“Nafkahilah Bilal dan jangan khawatir akan ada pengurangan dari Tuhan pemilik ‘Arsy“
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (QS Saba:39)
Dalam kitab Shahih terdapat hadits:
“Dua malaikat turun dari langit saat pagi setiap hari, salah satunya
berucap, ‘Ya Allah berilah orang yang menafkahkan hartanya, gantinya’
Sedangkan lain berucap, ‘Ya Allah berilah orang kikir kerusakan‘”.
Dalam kitab Shahih juga terdapat Hadits:
“Anak manusia mengatakan Hartaku-hartaku. Padahal engkau tidak memiliki
harta kecuali yang engkau makan lalu engkau habiskan, yang engkau
kenakan lalu engkau lusuhkan, yang engkau shadaqahkan lalu engkau
lewatkan, sedangkan yang selain itu lenyap dan engkau tinggalkan untuk
orang lain“
Dalam Musnad Imam Ahmad terdapat hadits:
“Dunia adalah rumah bagi orang yang tidk memiliki rumah, harta bagi
orang yang tidak memiliki harta, dan untuknya dikumpulkan oleh orang
yang tidak punya akal“
Demikianlah sikap kaum kafir dalam memandang kehidupan dan kaum
Muslim. Semoga kita tidak terpengaruh oleh pandangan dan gaya hidup
mereka yang menyesatkan